Postmodernisme, Bahasa dan Dekonstruksi Makna Islam

Posted on 04.07.2012

0


disadur dari: hidayatullah.com

oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

“JIKA Anda ingin menaklukan kekuasaan, anda tidak perlu menyerang fisiknya, tapi jajahlah wacananya.” Kata-kata itu diucapkan Michael Foucault sebagai awal mula babak baru peran bahasa setelah peradaban modern dipertanyakan oleh kaum Posmo (singkatan Postmodernisme).

Bahwa bahasa kini tidak lagi menjadi alat percakapan antar manusia, tapi dia telah menjelma menjadi senjata untuk membangun kolonilisasi. Ia tidak lagi menjadi netral, tapi subjektif, karena bahasa adalah alat yang dipakai untuk berkuasa.

Impelementasi postmodernisasi bahasa sangat erat terjadi dalam perselingkuhan antara media dan liberalisme. Maka tak heran, makna-makna liberal dan haram diperhalus sebaik mungkin hingga ia menjadi bahasa terpandang bahkan elegan. Riba dipercantik menjadi bunga, sodomi lebih manis disebut homoseks, bahkan pelacur di era posmo ini adalah “profesi” yang paling beruntung. Iya tidak lagi dianggap zina, karena jabatannya lebih terpandang dengan sebutan pekerja seks komersial. Karenanya, tidak heran seorang Sumanto Al Qurthuby, dalam bukunya Jihad Melawan Ekstrimisme Agama mempertanyakan sebagian orang yang risih dengan pelacur. Karena, bagi Sumanto, seorang pelacur derajatnya sama dengan seorang pekerja. “Jika seorang dosen ‘menjual’ otaknya demi mendapatkan honor, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?” tanyanya sinis.

Posmodernisme dan Bahasa

Isitlah Postmodenisme pertama kali muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Dan perbincangan mengenai posmo menjadi ramai ketika Jean Lyotard untuk pertama kalinya menulis studi posmo itu dalam bukunya, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge tahun 1984. Hingga saat itulah, istilah Postmodernisme menjadi meluas seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu ciri khas zaman posmo adalah mengacaukan bahasa. Dengan menyebut realitas sebagai teks, posmo memberikan peran besar pada bahasa. Bahasa mengontrol jalan pikiran manusia. Bahkan ia bisa berubah menjadi tiran ketika dipertemukan dengan kekuasaan.

Kita ingat sekali zaman Orde Baru, geliat eufemisme memulai muncul di media-media. Eufemisme sendiri adalah ungkapan kata yang lebih halus untuk menutupi perkataan yang dirasa tidak pas dengan norma umum. Tak pelak, kata-kata seperti “tempat kencing” kemudian dihaluskan menjadi “kamar kecil”. Sebutan “tempat kencing” dirasa tidak cocok jika akan digunakan sebagai percakapan. Maka, kata “kamar kecil” didorong untuk dapat menggantikannya.

Problemnya kemudian, ketika berhadapan dengan kekuasaan, maka makna eufemisme dihadapakan pada berbagai motif dan kepentingan. Ia tidak lagi berperan sebagai penghalusan bahasa, tapi juga mengandung muatan politis kalau tidak ingin disebut cara baru sebuah kekuasaan mengalihkan perhatian rakyat dari kebijakan tidak populisnya.

Sebagai contoh, ketika zaman Orde Baru penangkapan para aktivis politik menjadi fenomena umum, maka untuk meredam gejolak rakyat, kata “ditangkap” kemudian diperhalus menjadi “diamankan”. Seolah-seolah pemerintah ingin mengatakan penangkapan tersebut adalah bagian dari upaya stabilisasi keamanan nasional. Begitu juga dalam konteks ekonomi, geliat ekonomi yang memaksa pemerintah menaikkan bahan komoditi pun memaksa pemerintah menjalankan eufemisme untuk memperkenalkan kata “Penyesuaian harga” daripada “Kenaikan harga bahan pokok”.

Maka sudah barang tentu, karena kebijakan Orde Baru yang sangat sekular dan mengekang aktifis Islam, eufemisme mulai menjalar pada tema-tema yang sangat sensitif dengan kepentingan umat Islam dan konsep Islam itu sendiri. Di sinilah liberalisme menemukan tempat berselingkuh yang tepat, yakni menjalin relasi dengan kuasa. Dan apa yang dimaksud oleh Dominic Strinati dalam Theories of Populer Culture-nya bahwa media massa dan rupa budaya populernya akan mengendalikan hubungan sosial masyarakat menjadi keniscayaan. Jadi, bukan masyarakat yang membentuk realitas, tapi media lah yang memiliki kuasa untuk mendefinisikan realitas.

Hingga hari ini, masyarakat Indonesia dibuat permisif dengan berbagai tindak kemaksiatan karena kata-kata zina, sodomi, kafir, murtad menjadi tenggelam dengan istilah-istilah seperti selingkuh, homoseksual, non muslim, dan konversi agama. Belum lagi istilah-istilah khas Barat yang sama sekali tidak ditemukan dalam Islam tapi coba dicari landasan Qur’aninya seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme, gender, multikulturalisme, fundamentalisme dan lain sebagainya. Maka tidaklah heran, banyak sekali akting-akting pria memerankan identitas wanita laris di zaman Posmo ini. Karenanya, sebutan gay menjadi terpandang ketimbang pelaku sodomi. Inilah yang dimaksud Foucault dengan penjajahan wacana.

Penjajahan wacana lainnya dapat terlihat dari kata gGender yang diproduksi kaum liberal dan disosialisasikan lewat media. Gender sama sekali tidak pernah ada dalam kamus bahasa Islam. Istilah gender yang disebut dalam Women’s Studies Encyclopedia sebagai “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat,” sama sekali bertentangan dengan Islam. Karena Islam menjelaskan relasi antara pria dan wanita bukan dengan produk budaya maupun akal pikiran manusia, tapi langsung berangkat dari Qur’an dan Sunnah nabi tercinta.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)

Jadi, di dalam al-Qur’an sangat jelas, bahwa seorang laki-laki dan perempuan akan diikat dengan keimanan dan beramal menjadi tugasnya sebagai konsekuensi seorang hamba yang sholeh. Al-Qur’an tidak mendelegasikan seorang laki-laki perempuan untuk menjadi budak budaya, karena tidak selamanya budaya paralel dengan hukum Islam.
Kembali kepada Bahasa Islam

Maka itu umat Islam saat ini memang didorong untuk tidak terjebak pada konstruk wacana yang ramai di zaman postmodern ini. Sungguh Islam telah memiliki bahasa sempurna yang langsung berangkat dari al-Qur’an. Kekuatan Redaksi al-Qur’an terlihat erat ketika banyak para sahabat Nabi yang kemudian masuk Islam hanya karena mendengarkan ayat-ayat Qur’an. “Saat aku mendengarkan al-Qur’an maka hatiku menjadi luluh, menangis, hingga aku masuk Islam,” begitu kesaksian Umar bin Khathtab RA.

Kata murtad, misalnya, lebih adil ketimbang konversi agama. Karena dalam Islam, sebuah istilah akan terkait dengan sebuah makna dan hukum tertentu. Ketika seseorang mendengar kata murtad, ia akan langsung terhantar kepada ayat Qur’an dan hadis-hadis yang menjelaskan mengenai hukuman orang keluar dari Islam.

Begitu juga dengan zina. Bahasa zina akan lebih efektif menjaga moral saat laki dan perempuan menjalin relasi antara keduanya, karena al-Qur’an mengingatkan bahwa mendekati zina akan membawa dampak tidak baik kepada seorang mukmin, karena dalam konteks mendekati saja ia kemudian diharamkan terlebih dengan perbuatannya itu sendiri. Karenanya, Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat digunakan dalam setiap zaman.

Hal senada juga dikatakan Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah.

Karenanya, permasalahan bahasa bukanlah permasalahan sepele dalam Islam. Bahasa dalam Islam adalah media yang mengantarkan seorang mukmin kepada Ilahnya, bukan kemudian mengaburkan konsep baik-dan buruk seorang manusia hingga terjerembab kepada kemerosotan akhlak.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf). Wallahu a’lam.

Posted in: Islam